Pemerintah
mengakui, sampai saat ini sektor konstruksi dan manufaktur adalah penyumbang
terbesar bagi kecelakaan kerja di Indonesia.
"Sektor konstruksi dan manufaktur menjadi penyumbang terbesar yakni sebesar 32 persen," kata Sekretaris Ditjen Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Panani Kesai, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.
Sementara itu, sektor transportasi sembilan persen, kehutanan empat persen dan pertambangan dua persen.
Untuk itu, tegasnya, penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) adalah hal mendasar untuk diimplementasikan secara serius.
"Kami terus mengembangkan Standar Keamanan, Keselamatan dan Kesehatan Kerja, serta melakukan pengawasan terhadap implementasi dari standar dan juga menyiapkan perangkat untuk dapat meyakinkan agar penerapan standar dapat terlaksana dengan baik," katanya.
Mengenai kegagalan konstruksi dan atau kegagalan bangunan, menurut dia, bisa terjadi pada dua kondisi, pertama, pada saat terjadi proses konstruksi, kondisi ini yang dapat berdampak pada kecelakaan yang dialami langsung oleh para pekerja.
Kedua, kegagalan bangunan dapat terjadi pada masa pembangunan yang telah selesai dikerjakan atau pada masa pemeliharaan pembangunan.
Panani mencontohkan, beberapa kasus kecelakaan kerja, kegagalan konstruksi dan atau kegagalan bangunan yang terjadi beberapa tahun terakhir antara lain, robohnya Jembatan Kutai Kertanegara di Kalimantan Timur (November 2011) yang terjadi pada saat pekerjaan pemeliharaan dilakukan (kegagalan bangunan) dan runtuhnya hanggar bandara Sultan Hasanudin (Kecelakaan Kerja) pada Maret 2015.
Kemudian, tergulingnya crane di proyek normalisasi sungai Ciliwung pada Oktober 2015 (Kecelakaan Kerja), serta Robohnya deck jembatan I Dompak pada Oktober 2015 (kecelakaan kerja), telah menimbulkan korban dan kerugian jiwa, harta benda, serta lingkungan yang besar.
"Fakta-fakta di lapangan menurut temuan Direktorat Bina Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, menyatakan implementasi SMK3-nya belum diterapkan sebagaimana mestinya. Ini menunjukan bahwa tingkat kepedulian terhadap K3 masih sangat rendah," kata Panani.
Data per Oktober 2015 dari hasil evaluasi yang dilakukan Direktorat Jenderal Bina Konstruksi pada pelaksanaan proyek fisik Kementerian PUPR di enam pulau besar di Indonesia, yakni Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, NTB dan Bali, serta Papua, ternyata tingkat implementasi SMK3 pada proyek-proyek Kementerian PUPR masuk dalam kategori tidak aman.
"Sektor konstruksi dan manufaktur menjadi penyumbang terbesar yakni sebesar 32 persen," kata Sekretaris Ditjen Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Panani Kesai, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.
Sementara itu, sektor transportasi sembilan persen, kehutanan empat persen dan pertambangan dua persen.
Untuk itu, tegasnya, penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) adalah hal mendasar untuk diimplementasikan secara serius.
"Kami terus mengembangkan Standar Keamanan, Keselamatan dan Kesehatan Kerja, serta melakukan pengawasan terhadap implementasi dari standar dan juga menyiapkan perangkat untuk dapat meyakinkan agar penerapan standar dapat terlaksana dengan baik," katanya.
Mengenai kegagalan konstruksi dan atau kegagalan bangunan, menurut dia, bisa terjadi pada dua kondisi, pertama, pada saat terjadi proses konstruksi, kondisi ini yang dapat berdampak pada kecelakaan yang dialami langsung oleh para pekerja.
Kedua, kegagalan bangunan dapat terjadi pada masa pembangunan yang telah selesai dikerjakan atau pada masa pemeliharaan pembangunan.
Panani mencontohkan, beberapa kasus kecelakaan kerja, kegagalan konstruksi dan atau kegagalan bangunan yang terjadi beberapa tahun terakhir antara lain, robohnya Jembatan Kutai Kertanegara di Kalimantan Timur (November 2011) yang terjadi pada saat pekerjaan pemeliharaan dilakukan (kegagalan bangunan) dan runtuhnya hanggar bandara Sultan Hasanudin (Kecelakaan Kerja) pada Maret 2015.
Kemudian, tergulingnya crane di proyek normalisasi sungai Ciliwung pada Oktober 2015 (Kecelakaan Kerja), serta Robohnya deck jembatan I Dompak pada Oktober 2015 (kecelakaan kerja), telah menimbulkan korban dan kerugian jiwa, harta benda, serta lingkungan yang besar.
"Fakta-fakta di lapangan menurut temuan Direktorat Bina Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, menyatakan implementasi SMK3-nya belum diterapkan sebagaimana mestinya. Ini menunjukan bahwa tingkat kepedulian terhadap K3 masih sangat rendah," kata Panani.
Data per Oktober 2015 dari hasil evaluasi yang dilakukan Direktorat Jenderal Bina Konstruksi pada pelaksanaan proyek fisik Kementerian PUPR di enam pulau besar di Indonesia, yakni Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, NTB dan Bali, serta Papua, ternyata tingkat implementasi SMK3 pada proyek-proyek Kementerian PUPR masuk dalam kategori tidak aman.
Sebagaimana telah diatur dalam
pasal 1 Undang-Undang
No. 18 Tahun1999 tentang Jasa Konstruksi dimana disebutkan pekerjaan konstruksi
adalahkeseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan atau
pelaksanaanbeserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil,
mekanikal,elektrikal dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya,
untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain .Oleh sebab itu,
dalam mencapai pembangunan nasional, jasa konstruksimempunyai peranan penting
dan strategis dalam upaya mewujudkan masyarakatyang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 mengingat jasakonstruksi menghasilkan produk berupa
bangunan atau satuan infrastrukturlainya seperti jalan, jembatan, gedung dan
masih banyak bentuk bangunankonstruksi lainnya, yang berfungsi mendukung
pertumbuhan dan perkembangansegala aspek kehidupan masyarakat baik di bidang
ekonomi, sosial dan budaya.Disamping itu, penyelenggaraan jasa konstruksi
nasional harusmempunyai keandalan dan professional untuk berdaya saing mewujudkan
jasakosntruksi yang kokoh dan mampu mewujudkan pekerjaan kosntruksi
yang lebih efisien, efektif, dan berkualitas dimana antara penyedia jasa
baik yang berskala kecil, menengah dan besar saling membangun kemitraan
gunamemenuhi kewajibannya untuk menyelenggarakan kegiatan kosntruksi
yang selalu menitik beratkan pada aspek keamanan, keselamatan, kesehatan,
danlingkungan supaya mewujudkan bangunan yang berkualitas dan mampuberfungsi
sebagaimana yang telah direncanakan
Menurut Undang-Undang No.18 Tahun 1999 tentang Jasa
KonstruksiPasal 1 butir ke 8 yang dimaksud dengan Kegagalan Bangunan adalah
keadaanbangunan yang setelah diserahterimakan oleh penyedia jasa kepada
penggunajasa, menjadi tidak berfungsi baik secara keseluruhan maupun sebagian
dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak
kerjakonstruksi atau pemanfaatannya yang menyimpang sebagai akibat
kesalahanpenyedia jasa dan/ atau pengguna jasa.
Hal tersebut diperkuat juga dalam Peraturan Pemerintah No. 29
Tahun2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi di Indonesia Pasal 34,
dimanadefinisi Kegagalan Bangunan adalah merupakan keadaan bangunan yang
tidak berfungsi, baik secara keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis,
manfaat,keselamatan dan kesehatan kerja dan/atau keselamatan umum, sebagai
akibatkesalahan penyedia jasa dan atau pengguna jasa setelah penyerahan akhir pekerjaan
konstruksi.
Namun untuk mendapatkan faktor penyebab konstruksi
tidaklah mudah,karena sumber penyebab kegagalan konstruksi sendiri merupakan akumulasi
dari berbagai faktor. Sumber kegagalan kontruksi seringkali dipengaruhi oleh
faktor alam, dicontohkan sebagai kegagalan yang terjadi akibat perubahan
dinamik dari alam, seperti letusan gunung berapi, banjir, gelombang laut,
dan perilaku manusia juga berperan signifikan. Vicknasyon (2003)
mengemukakan 80 % dari total kegagalan kosntruksi dimungkinkan penyebabnya
faktor manusia. Riset yang dilakukan Oyfer (2002)menyatakan hal itu di Amerika
Serikat disebabkan oleh Faktor manusia (54 %),desain (17 %), perawatan (15 %),
material (12%) dan hal yang tak terduga (2 %).Bahkan pernah diberitakan pada
Surat Kabar Harian, bahwa salah satu sumberpenyimpangan kegagalan kosntruksi
adalah penyimpangan terhadap tatanan,prosedur internal, prosedur eksternal, dan
manajemen kosntruksi serta sistemyang telah disepakati dalam kontrak pekerjaan
konstruksi.
Pada hakekatnya, kegagalan bangunan ditinjau dari sisi waktu
periodenyadapat dilihat dari setelah pekerjaan konstruksi diserahterimakan
terakhir kalinyaatau Final Hand Over (FHO), sedangkan bila ditinjau dari
substansi pekerjaanmaka kegagalan bangunan dapat dilihat setelah terjadi
ketidakfungsian baik sebagian atau seluruhnya atas hasil pekerjaan
konstruksi dari segi teknis,manfaat, keselamatan dan kesehatan kerja. Akan
tetapi, di dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000
tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi di Indonesia Pasal 35 ayat 1
disebutkan bahwajangka waktu pertanggung jawaban atas kegagalan bangunan
ditentukan sesuaidengan umur konstruksi yang direncanakan dengan maksimal 10
tahun, sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi (FHO).Ditambahkan dalam
Pasal 36 ayat 1 bahwa kegagalan bangunan dinilaidan ditetapan oleh 1 (satu)
atau lebih penilai ahli yang professional dankompeten di bidangnya serta
bersifat independen dan mampu memberikanpenilaian yang objektif, yang harus
dibentuk dalam dalam waktu 1 (satu) bulansejak diterimanya laporan mengenai
terjadinya kegagalan bangunan.
SUMBER
http://www.academia.edu/4127335/6_Ltr_blakang_Pembahasan_Kesimpulan
http://www.lpjk.org/modules/regulasi_produk.php
http://kuliahinsinyur.blogspot.co.id/2012/06/peraturan-jasa-konstruksi-di-indonesia.html#.VrgoRE-zxJw
Tidak ada komentar:
Posting Komentar