Selasa, 04 April 2017

KONSERVASI ARSITEKTUR




KONSERVASI SETU BABAKAN

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.            Latar Belakang

Setu Babakan adalah sebuah kawasan perkampungan yang ditetapkan Pemerintah Jakarta sebagai tempat pelestarian dan pengembangan budaya Betawi secara berkesinambungan. Perkampungan yang terletak di selatan Kota Jakarta ini merupakan salah satu objek wisata yang menarik bagi wisatawan yang ingin menikmati suasana khas pedesaan atau menyaksikan budaya Betawi asli secara langsung. Di perkampungan ini, masyarakat Setu Babakan masih mempertahankan budaya dan cara hidup khas Betawi,  memancing, bercocok tanam, berdagang, membuat kerajinan tangan, dan membuat makanan khas Betawi. Melalui cara hidup inilah, mereka aktif menjaga lingkungan dan meningkatkan taraf hidupnya.

Setu Babakan adalah kawasan hunian yang memiliki nuansa yang masih kuat dan murni baik dari sisi budaya, seni pertunjukan, jajanan, busana,, rutinitas keagamaan, maupun bentuk rumah Betawi. Dari perkampungan yang luasnya 289 Hektar, 65 hektar di antaranya adalah milik pemerintah di mana yang baru dikelola hanya 32 hektar. Perkampungan  ini didiami setidaknya 3.000 kepala keluarga. Sebagian besar penduduknya adalah orang asli Betawi yang sudah turun temurun tinggal di daerah tersebut. Sedangkan sebagian kecil lainnya adalah para pendatang, seperti pendatang dari Jawa Barat, jawa tengah, Kalimantan, dll yang sudah tinggal lebih dari 30 tahun di daerah ini.

Dalam sejarahnya, penetapan Setu Babakan sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi sebenarnya sudah direncanakan sejak tahun 1996. Sebelum itu, Pemerintah DKI Jakarta juga pernah berencana menetapkan kawasan Condet, Jakarta Timur, sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi, namun urung (batal) dilakukan karena seiring perjalanan waktu perkampungan tersebut semakin luntur dari nuansa budaya Betawi-nya. Dari pengalaman ini, Pemerintah DKI Jakarta kemudian merencanakan kawasan baru sebagai pengganti kawasan yang sudah direncanakan tersebut. Melalui SK Gubernur No. 9 tahun 2000 dipilihlah perkampungan Setu Babakan sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi. Sejak tahun penetapan ini, pemerintah dan masyarakat mulai berusaha merintis dan mengembangkan perkampungan tersebut sebagai kawasan cagar budaya yang layak didatangi oleh para wisatawan. Setelah persiapan dirasa cukup, pada tahun 2004, Setu Babakan diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi. Sebelum itu, perkampungan Setu Babakan juga merupakan salah satu objek yang dipilih Pacifik Asia Travel Association (PATA) sebagai tempat kunjungan wisata bagi peserta konferensi PATA di Jakarta pada bulan Oktober 2002.

Konservasi merupakan suatu upaya yang dapat menghidupkan kembali vitalitas lama yang telah pudar. Termasuk upaya konservasi lingkungan suatu kawasan bersejarah. Peningkatan nilai-nilai estetis dan historis dari sebuah bangunan bersejarah sangat penting untuk menarik kembali minat masyarakat untuk mengunjungi kawasan atau bangunan tersebut. Sebagai bukti sejarah dan peradaban dari masa ke masa. Upaya konsevasi bangunan bersejarah dikatakan sangat penting. Selain untuk menjaga nilai sejarah dari bangunan, dapat pula menjaga bangunan tersebut untuk bisa dipersembahkan kepada generasi mendatang.

Pada penulisan ini saya mengambil objek kawasan di setu babakan, pada kawasan setu babakan ini di amabil beberapa obyek yang ada di kawasan setu babakan yang yang merupakan kawasan dengan nilai sejarah dan budaya betawinya, kemudian di ambil beberapa objek bangunan yang kemudian dideskripsikan serta dicarikan solusinya berdasarkan kaidah konservasi arsitektur.

1.2.            Rumusan Masalah

1.      Bagaimanakah penanganan tepat dan langkah yang baik untuk pelestarian kawasan situ babakan yang memiliki nilai sejarah dan budaya betawi ?

2.      Apa saja data didapat dari hasil survey bangunan konservasi di situ babakan?

3.      Apa kesimpulan yang ada pada setiap hasil amatan objek pemugaran bangunan di situ babakan?

1.3.            Batasan Masalah

1.  Bangunan yang menjadi objek studi kasus konservasi adalah bangunan 

     yang ada di kawasan situ babakan jakarta selatan

1.4.            Tujuan

1.      Mendapatkan pengetahuan atau tindakan yang tepat kawasan setu babakan dapat dijadikan wisata bersejarah yang menarik dan educatif.

2.      Mencari masalah dan solusi serta melestarikan sejarah dan budaya pada kawasan setu babakan

3.      Untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam bidang ilmu konservasi dalam arsitektur

4.      Untuk memenuhi tugas softskil konservasi arsitektur 8



BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Setu Babakan



Gambar :Pentu masuk situ babakan
sumber : google image


Setu Babakan adalah sebuah kawasan perkampungan yang ditetapkan Pemerintah Jakarta sebagai tempat pelestarian dan pengembangan budaya Betawi secara berkesinambungan. Perkampungan yang terletak di selatan Kota Jakarta ini merupakan salah satu objek wisata yang menarik bagi wisatawan yang ingin menikmati suasana khas pedesaan atau menyaksikan budaya Betawi asli secara langsung. Di perkampungan ini, masyarakat Setu Babakan masih mempertahankan budaya dan cara hidup khas Betawi,  memancing, bercocok tanam, berdagang, membuat kerajinan tangan, dan membuat makanan khas Betawi. Melalui cara hidup inilah, mereka aktif menjaga lingkungan dan meningkatkan taraf hidupnya.

Setu Babakan adalah kawasan hunian yang memiliki nuansa yang masih kuat dan murni baik dari sisi budaya, seni pertunjukan, jajanan, busana,, rutinitas keagamaan, maupun bentuk rumah Betawi. Dari perkampungan yang luasnya 289 Hektar, 65 hektar di antaranya adalah milik pemerintah di mana yang baru dikelola hanya 32 hektar. Perkampungan  ini didiami setidaknya 3.000 kepala keluarga. Sebagian besar penduduknya adalah orang asli Betawi yang sudah turun temurun tinggal di daerah tersebut. Sedangkan sebagian kecil lainnya adalah para pendatang, seperti pendatang dari Jawa Barat, jawa tengah, Kalimantan, dll yang sudah tinggal lebih dari 30 tahun di daerah ini.

Setu Babakan, sebagai sebuah kawasan Cagar Budaya Betawi, sebenarnya merupakan objek wisata yang terbilang baru. Peresmiannya sebagai kawasan cagar budaya dilakukan pada tahun 2004, yakni bersamaan dengan peringatan HUT DKI Jakarta ke-474. Perkampungan ini dianggap masih mempertahankan dan melestarikan budaya khas Betawi, seperti bangunan, dialek bahasa, seni tari, seni musik, dan seni drama.

2.2. Klasifikasi Bangunan Cagar Budaya

Suatu bangunan dapat dikatakan sebagai bangunan konservasi  atau cagar budaya sehingga dikenai aturan untuk melestarikannya mengacu pada kriteria yang telah ditentukan. Pasca monumen ordonansi yang dijadikan keketapan hukum pada jaman pemerintahan Hindia Belanda maka pemerintah Republik Indonesia membuat Undang Undang No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Dalam UU no 5 tersebut dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan benda cagar budaya adalah : (dalam Bab 1 pasal 1) yaitu : (1)  Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak, yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagian atau sisa sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; (2) Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

Adapun ” situs” adalah lokasi atau lingkungan yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya. Dalam bab 1 pasal 2 menyebutkan sebagai berikut bahwa perlindungan benda cagar budaya dan situs (lingkungannya) untuk bertujuan melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia.

Dalam Bab 2 Pasal 2 menyebutkan  bahwa : (10 Semua benda cagar budaya dikuasai oleh Negara, (2) Penguasaan benda cagar budaya meliputi benda cagar budaya yang terdapat di wilayah hukum RI. Hal ini menjelaskan bahwa benda cagar budaya tidak bisa dikatakan sebagai barang pribadi.

Dalam Bab 8 Pasal 26 menyebutkan bahwa barang siapa dengan sengaja merusak benda cagar budaya dan situs dan lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk dan atau warna, memugar atau memisahkan benda cagar budaya tanpa ijin dari pemerintah dapat dipidana dengan pidana penjara selama lamanya 10 tahun dan atau denda setinggi-tingginya 100 juta.

Pasal 27 menyebutkan bahwa barang siapa dengan sengaja melakukan pencarian benda cagar budaya atau benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya dengan cara menggali, penyelaman, pengangkatan, atau dengan cara pencarian lain tanpa ijin pemerintah dapat dipidana dengan pidana penjara selama 5 tahun dan atau denda setingginya 50 juta.

Namun realitasnya pemerintah atau masyarakat sendiri mengalami kesulitan dalam melakukan konservasi karena berbagai keterbatasan. Pertama, keterbatasan pengetahuan dan wawasan mengenai konservasi. Tidak sedit benda cagar budaya yang rusak disebabkan adanya niat baik tanpa dukungan pengetahuan memadai. Tindakan yang ditujukan untuk memperbaiki atau mengembangkan fungsinya malah dianggap merusak keaslian. Hal ini bisa diatasi dengan konsultasi pada pihak-pihak yang berkompeten. Keberadaan lembaga nirlaba yang memberikan konsultasi sangat membantu dan diharapkan supaya masyarakat tidak merasa ” kesulitan ” untuk memelihara barangnya sendiri. Kedua, keterbatasan dana dalam pelestarian yang biasanya harus mengeluarkan biaya ekstra dan lebih besar dibandingkan dengan membangun biasa. Akibatnya pemilik merasa kerepotan sendiri mengurusi benda cagar budaya dan kemudian membiarkan rusak agar bisa dibongkar nantinya. Hal ini lazim terjadi sebagai alasan agar mereka tidak terkena kewajiban melestarikannya. Ketiga, masalah regulasi dalam pelestarian yang sering bersifat mengambang yang menyebabkan tidak ada rekomendasi praktis yang bisa dikerjakan. Bila hal tersebut terjadi berlarut larut tanpa suatu penyelesaian akan berakibat fatal.

Adapun kriteria obyek atau benda atau lingkungan atau kawasan sebagai bagian dari kota yang yang harus dilestarikan sebagai berikut :

Menurut National Register of Historic Places, National Park Service US Departement of Interior dan :

1.   Obyek yang berkaitan dengan suatu momentum atau peristiwa signifikan baik dari kesejarahan dan kebudayaan yang menandai perjalanan suatu bangsa. Gedung Sumpah Pemuda, Istana Negara atau Katedral Jakarta. Bisa jadi bangunan tersebut adalah lambang kejayaan kolonialisme pada masa lalu namun dalam pengertian edukasi pada masa sekarang adalah suatu hasil yang bisa direbut kemerdekaan. Seandainya belum merdeka tentu obyek tersebut berfungsi lain.

2.   Kaitan dengan kehidupan tokoh atau komunitas yang cukup penting dalam sejarah dan kebudayaan. Misal rumah Muhammad Husni Thamrin adalah seorang Betawi anggota Volskraad yang vokal menyuarakan kesejahteraan rakyat dilestarikan. Keberadaan rumah-rumah Betawi di Condet yang menunjukkan bahwa pada masa itu merupakan lingkungan Betawi.

3.   Obyek adalh wujud atau representasi dari suatu karakter, karya, gaya, langgam, tipe, periode, teknologi, metode pembangunan yang memiliki nilai artistik tinggi.



      Kategori Obyek konservasi sebagai berikut :

1.   Obyek keagamaan berupa peninggalan arsitektur atau karya yang bernilai keagamaan.

2.   Bangunan atau bentuk struktur yang telah dipindahkan dari lokasi eksisting yang memiliki nilai signufican dalam arsitektur atau bentuk struktur yang masih bertahan terkait dalam peristiwa sejarah tokoh tertentu.

3.   Rumah, kantor atau ruang aktivitas  atau makam tokoh terkenal dalam sejarah, dengan catatan tidak ada tempat atau bangunan lain yang terkait dengan riwayat hidupnya.

4.   Bangunan pada masa tertentu yang memiliki keunikan desain, gaya atau berkaitan dengan peristiwa sejarah tertentu.

5.   Bangunan hasil rekonstruksi an merupakan satu-satunya bangunan yang dapat diselamatkan.

6.   Obyek berusia 50 tahun yang memberi nilai yang cukup significan atau pengecualian yang dianggap penting.

2.3. Tindakan Pelestarian Situ Babakan

Dalam tindakan untuk melestarikan situ babakan, adapun teori yang di terpakan dalam pelestariaan situ babakan, yaitu denagan teori Konservasi,

Konservasi adalah upaya pelestarian lingkungan yang tepat dalam melestarikan cagar budaya yang ada di situ babakan , tetapi tetap memperhatikan, manfaat yang dapat di peroleh pada saat itu dengan tetap mempertahankan keberadaan setiap komponen lingkungan untuk pemanfaatan masa depan.

           Namun menurut Adishakti (2007) istilah konservasi yang biasa digunakan para arsitek mengacu pada Piagam dari International Council of Monuments and Site (ICOMOS) tahun 1981, yaitu Charter for the Conservation of Places of Cultural Significance, Burra, Australia, yang lebih dikenal dengan Burra Charter.

     Disini dinyatakan bahwa konsep konservasi adalah semua kegiatan pelestarian sesuai dengan kesepakatan yang telah dirumuskan dalam piagam tersebut. Konservasi adalah konsep proses pengelolaan suatu tempat atau ruang atau obyek agar makna kultural yang terkandung di dalamnya terpelihara dengan baik. Kegiatan konservasi meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan kondisi dan situasi lokal maupun upaya pengembangan untuk pemanfaatan lebih lanjut.

          Suatu program konservasi sedapat mungkin tidak hanya dipertahankan keasliannya dan perawatannya namun tidak mendatangkan nilai ekonomi atau manfaat lain bagi pemilik atau masyarakat luas. Dalam hal ini peran arsitek sangat penting dalam menentukan fungsi yang sesuai karena tidak semua fungsi dapat dimasukkan. Kegiatan yang dilakukan ini membutuhkan upaya lintas sektoral, multi dimensi dan disiplin, serta berkelanjutan.

Tujuan dari kegiatan konservasi, antara lain :

a. Memelihara dan melindungi tempat-tempat yang indah dan berharga, agar tidak hancur atau berubah sampai batas-batas yang wajar.

b. Menekankan pada penggunaan kembali bangunan lama, agar tidak terlantar. Apakah dengan menghidupkan kembali fungsi lama, ataukah dengan mengubah fungsi bangunan lama dengan fungsi baru yang dibutuhkan.

c. Melindungi benda-benda cagar budaya yang dilakukan secara langsung dengan cara membersihkan, memelihara, memperbaiki, baik secara fisik maupun khemis secara langsung dari pengaruh berbagai faktor lingkungan yang merusak.

d. Melindungi benda-benda (dalam hal ini benda-benda peninggalan sejarah dan purbakala) dari kerusakan yang diakibatkan oleh alam, kimiawi dan mikro organisme.

Ada beberapa kriteria suatu bangunan perlu untuk dilestarikan, yaitu;

a. Nilai Obyeknya sendiri

Obyek tersebut merupakan contoh yang baik dari gaya arsitektur tertentu atau hasil karya arsitek terkenal.

Obyek mempunyai nilai estetik, didasarkan pada koalitas exterior maupun interior dalam bentuk maupun detil

Obyek merupakan contoh yang unik dan terpandang untuk periode atau gaya tertentu.

b. Fungsi Obyek dalam Lingkungan

Kaitan antara. Obyek dengan bangunan lain atau ruang kota, misalnya jalan, taman, penghijauan kota,dll yang berkaitan dengan kualitas arsitektur/urban secara menyeluruh.

Obyek merupakan bagian dari kompleks bersejarah dan jelas berharga untuk dilestarikan dalam tatanan itu.

Obyek mempunyai landmark yang mempunyai karakteristik dan dikenal dalam kota atau mempunyai nilai emosional bagi penduduk kota.

c. Fungsi Obyek dalam lingkungan sosial dan budaya

Obyek dikaitkan dengan kenangan historis

Obyek menunjukkan fase tertentu dalam sejarah dan perkembangan kota.

Obyek yang mempunyai fungsi penting dikaitkan dengan aspek-aspek fisik, emosional, atau keagamaan, seperti masjid atau gereja.

          Upaya pelestarian yang telah dilakukan dahulu dan sekarang pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu pelestarian demi kepentingan penggalian nilai-nilai budaya dan proses-proses yang pernah terjadi pada masa lalu dan perkembangannya hingga kini serta pelestarian benda cagar budaya karena nilainya terhadap suatu peristiwa sejarah yang pernah terjadi pada masa lalu. Namun seiring dengan usaha pembangunan yang terus berlangsung di negara kita, maka memberi tantangan tersendiri terhadap upaya pelestarian. Pembangunan sering kali berdampak negatif terhadap kelestarian benda cagar budaya. Problem semacam ini muncul dimana-mana terutama di daerah perkotaan. Kegiatan pembangunan tanpa menghiraukan keberadaan benda cagar budaya hingga saat ini masih terus berlangsung. Hal ini tampak dari semakin menurunnya kualitas dan kuantitas benda cagar budaya.

          Upaya pelestarian benda cagar budaya membutuhkan keterlibatan banyak pihak dan yang terpenting adalah keterlibatan masyarakat, terutama pada benda cagar budaya yang masih dipakai (living monument). Pelestarian living monument terkadang lebih sulit, dikarenakan kurangnya pemahaman sang pemilik tentang pentingnya pelestarian benda cagar budaya miliknya. Upaya pelestarian benda cagar budaya secara garis besar sebagai berikut:

1.    Perlindungan

Perlindungan merupakan upaya melindungi benda cagar budaya dari kondisi-kondisi yang mengancam kelestariannya melalui tindakan pencegahan terhadap gangguan, baik yang bersumber dari perilaku manusia, fauna, flora maupun lingkungan alam. Upaya perlindungan dilakukan melalui :

a. Penyelamatan

Penyelamatan dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi benda cagar budaya dari kerusakan dengan kegiatan berupa ekskavasi penyelamatan, pemindahan, pemagaran, pencungkupan, penguasaan benda cagar budaya oleh negara melalui imbalan, pemintakatan, dan pemasangan papan larangan

b. Pengamanan

Pengamanan dilakukan untuk pencegahan terhadap gangguan perbuatan manusia yang dapat mengakibatkan kerugian fisik dan nilai benda. Kegiatannya berupa Penempatan Satuan Pengamanan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SATPENJARLA), Pelatihan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), dan Penyuluhan Undang-Undang RI Nomor : 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

c. Perijinan

Perijinan dilakukan melalui pengawasan dan perijinan, baik dalam bentuk ketentuan atau ketetapan maupun tindakan penertiban terhadap lalu lintas benda cagar budaya. Kegiatannya berupa mengeluarkan ijin pemanfaatan untuk kepentingan pendidikan Siswa sekolah dan keagamaan, yaitu perayaan Waisak di Situs Muarajambi serta ijin untuk kepentingan penelitian.

2.    Pemeliharaan

Pemeliharaan merupakan upaya untuk melestarikan benda cagar budaya dari kerusakan yang diakibatkan oleh manusia dan alam. Upaya pemeliharaan dilakukan melalui :

a. Konservasi

Kegiatan pemeliharaan benda cagar budaya dari kemusnahan dengan cara menghambat proses pelapukan dan kerusakan benda sehingga umurnya dapat diperpanjang dengan cara kimiawi dan non kimiawi. Kegiatannya berupa pengangkatan Juru pelihara (Jupel), penataan lingkungan, pertamanan, pembersihan menggunakan pihak ketiga, pembersihan dengan bahan kimia, dan pengujian bahan kimia untuk konservasi.

b. Pemugaran

Serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk memperbaiki bangunan yang telah rusak dengan mempertahankan keasliannya, namun jika diperlukan dapat ditambah dengan perkuatan strukturnya. Keaslian yang harus diperhatikan dalam pemugaran mencakup keaslian bentuk, bahan, tehnik pengerjaan, dan tata letak.

1) Keaslian Bentuk

Keaslian bentuk bangunan harus dikembalikan berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan antara lain foto-foto lama, dokumen tertulis, saksi hidup, atau studi teknis.

2) Keaslian Bahan

a) Dalam pemugaran bahan bangunan yang harus digunakan adalah bahan asli dan harus dikembalikan ke tempatnya semula

b) Apabila bahan bangunan mengalami rusak ringan maka harus dilakukan perbaikan dan pengawetan sehingga dapat digunakan kembali

c) Apabila telah rusak berat atau hilang, maka dapat diganti dengan bahan baru. Namun bahan pengganti harus sama, baik jenis maupun kualitasnya.

3) Keaslian Tata Letak

a)Tata letak bangunan harus dipertahankan dengan lebih dahulu melakukan pemetaan

b) Keletakan komponen-komponen bangunan seperti hiasan, arca, dan lain-lain harus dikembalikan ke tempat semula.

4) Keaslian Teknologi Pengerjaan

Keaslian teknologi pengejaan dengan bahan asli maupun baru harus tetap dipertahankan. keaslian teknologi ini antara  lain:

a). Teknologi pembuatan

b). Teknologi konstruksi

          Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, maka perlu dipahami bahwa pemugaran bukan merupakan pekerjaan pembangunan atau pembuatan bangunan, melainkan pekerjaan perbaikan dan pengawetan.






SUMBER :